Dengan Balanced Scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa
yang akan datang. Balanced Scorecard memungkinkan untuk mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur, demi perbaikan kinerja di masa depan. Melalui metode
yang sama dapat dinilai pula apa yang telah dibina dalam intangible assets seperti merk dan loyalitas pelanggan.
Namun demikian, pembahasan mengenai pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard lebih sering dilakukan dalam konteks penerapannya pada perusahaan atau organisasi yang bertujuan mencari laba (profit-seeking organisations). Jarang sekali ada pembahasan mengenai penerapan Balanced Scorecard pada organisasi nirlaba (not-forprofit organisations) atau organisasi dengan karakteristik khusus seperti koperasi, yang ditandai relational contracting, yakni saat owner dan consumer adalah orang yang sama, serta di mana mutual benefit anggota
menjadi prioritasnya yang utama (Merchant, 1998). Pada organisasiorganisasi semacam ini, keberhasilan haruslah lebih didasarkan pada
kesuksesan pencapaian misi secara luas daripada sekedar perolehan keuntungan (www.balancescorecard.org).
Berlainan dengan perusahaan atau organisasi yang bertujuan semata-mata mencari laba, karakteristik penting lain dari koperasi terlihat dari fungsi dan peran yang diamanatkan oleh UU No. 25/1992 yang di antaranya adalah : "Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya" (UU Perkoperasian).
Dalam konteks Indonesia, pembahasan mengenai koperasi tentunya tidak boleh diabaikan. Tidak saja karena konstitusi kita, dalam penjelasan Pasal 33, dengan tegas menyebutkan bahwa "bangun usaha yang sesuai
dengan sistem ekonomi Indonesia adalah koperasi", namun juga karena fakta empiris yang ada. Data yang terakhir, misalnya, menyebutkan bahwa sebagian besar kesempatan kerja ternyata dihasilkan oleh pengusaha kecilmenengah
dan koperasi. Sementara itu, ditinjau dari segi jumlah, saat ini tercatat 69.769 buah koperasi primer dan sekunder yang ada di Indonesia dengan anggota mencapai 21.189.357 jiwa (www.dekopin.org). Sebuah jumlah yang sangatlah signifikan.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lain, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan konglomerat, posisi koperasi ternyata masih sangat terbelakang. Nilai aset koperasi pada tahun 1993 hanya berjumlah Rp 4 trilyun. Jumlah itu kurang dari 1 persen nilai aset berbagai sektor usaha di Indonesia. Nilai aset terbesar dimiliki oleh BUMN dengan jumlah Rp 269 trilyun, disusun oleh konglomerat dengan jumlah Rp 227 trilyun. Sedangkan dalam nilai usaha keadaannya sedikit berbeda.
Konglomerat berada di urutan pertama dengan nilai usaha Rp 144 trilyun. BUMN di urutan kedua dengan nilai usaha Rp 80 trilyun. Sedangkan koperasi, dengan nilai usaha sebesar Rp 9,5 trilyun, kembali berada di urutan ketiga (Baswir, 2000).
Download 134-ali
Tuesday, December 16, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment