Friday, July 3, 2009

0 Mengoptimalkan Potensi Anak pada Lima Tahun Pertama


PENDAHULUAN

SERING orang tua bertanya, mengapa watak, kemampuan, dan perilaku anaknya yang sekarang sekolah di SMA ”tiba-tiba” tampak berbeda dengan teman-teman lainnya, padahal ia mengalami masa kecil yang sama dengan teman-teman pada umumnya? ”Bukankah anakku juga minum susu, makan nasi, daging, juga buah dan sayur, plus ice cream, bahkan multi vitamin?”

Pertanyaan itu terus berlanjut. Mengapa anak tetanggaku jadi anak penurut sedang anakku sangat pemberang, anak tetanggaku selalu tersenyum sedang anakku selalu cemberut, anak tetanggaku bisa sangat bandel sedangkan anakku mudah menangis, anak tetanggaku bisa menyanyi dengan suara merdu sedang anakku bersuara sumbang, anak tetanggaku bisa pintar melukis sedang anakku suka mebuat grafiti di tembok rumah? Anak tetanggaku selalu menjadi juara kelas sementara anakku suka tawuran? Apakah ini karena takdir? Kalau begitu mengapa takdir baik selalu jatuh pada orang lain, sementara takdir jelek selalu pada diri saya?
Pertanyaan gugatan di atas mencerminkan, bahwa kita lebih suka melihat kepada hasil yang dicapai daripada proses. Kita sering tidak peduli pada proses karena maunya cepat jadi atau ingin instan, maka yang ditempuh adalah jalan pintas. Hasilnya adalah anak seolah-olah bisa; padahal yang terjadi adalah sesuatu yang semu, palsu dan lebih pada ambisi orang tua, bukan kebutuhan anak.
Seperti apa anak setelah dewasa, atau ketika memasuki masa belajar di SMA, SMP bahkan masih di SD, sesungguhnya amat bergantung pada bagaimana orang tua mengasuh anak pada usia lima tahun pertama. Masa ini adalah masa kegemilangan ruang intelektual, emosi, spiritual dan motorik anak, sehingga para ahli anak menyebutnya sebagai masa golden age. Para peneliti menyimpulkan pembentukan intelegensia seorang indivisu 50 % berlangsung pada usia 1-4 tahun, hingga usia 8 tahun menjadi 80 % dan mencapai 100 % pada usia 18 tahun.
PANDANGAN TENTANG ANAK
Ada beberapa pandangan dasar tentang anak. Pertama, pandangan lama yang menganggap bahwa anak lahir dengan membawa takdir yang tidak bisa diubah berupa bakat dan kemampuan yang tak bisa diubah. Jangan paksa anak untuk melukis atau menyanyi atau menari, karena melukis-menyanyi-dan menari adalah bakat yang dibawa sejak lahir, begitulah kira-kira aliran ini melihat anak.
Konsekuensinya, untuk apa upaya manusia mengembangkan anak, sebab bukankah anak sudah ditakdirkaan dalam bakat-bakat tertentu? Pendidikan tidak akan mampu mengubah bakat, pengasuhan tidak akan mengubah takdir. Pada saatnya, secara alamiah bakat anak akan muncul, tanpa jasa dari orang tua atau guru.
Kedua, aliran Tabularasa, dikemukakan oleh John Locke, yang melihat anak lahir dalam kondisi putih bersih laksana meja lilin yang akan ditulisi apa saja bisa bergantung kemauan orang tua. Pandangan ini menolak keberadaan bakat bawaan pada anak. Tugas orang tua adalah menulisi meja tersebut, mau seperti apa yang paling menentukan adalah orang tua dan guru. Oleh sebab itu orang tua berperan mengarahkan ke mana anak akan dibawa dengan konsep yang sudah disiapkan.
Pandangan lain yang lebih maju dikemukakan oleh Jean Piaget. Menurutnya anak lahir dengan segala keunikan potensi, yang antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama, bahkan anak kembar sekali pun. Tugas orang dewasa adalah menyiapkan lingkungan yang memungkinkan potensi-potensi yang dimiliki anak bisa berkembang optimal, baik potensi nalar ( intelegensi), rasa (emosi), spiritual, maupun ketrampilan (motorik).
Potensi intelegensia anak akan berkembang pesat bila orang tua menyediakan perpustakaan atau bahan-bahan bacaan lainnya. Potensi emosi akan menjadi optimal manakala orang tua menyediakan suasana keluarga yang harmonis, hubungan kasih sayang antaranggota keluarga. Demikian pula potensi motorik akan bangkit bila ada ruang daan fasilitas yang mendukung, tanpa itu tentulah akan sulit berkembang, apalagi bila yang tersedia adalah hal yang sebaliknya.
Abraham Maslow melengkapi pemikiran tersebut dengan teori motivasi. Menurutnya, potensi-potensi unik sorang anak akan muncul apabila diberi motivasi dengan cara penyampaian wawasan, contoh orang tua, pergaulan dengan teman lain, maupun pengalaman langsung.
POLA ASUHAN SEBAGAI KUNCI
Mencermati pendapat di atas dengan memasukan pengalaman yang selama ini kita peroleh memberikan pengertian kepada kita bahwa kata kunci sukses mengantarkan anak menuju perkembangan optimal adalah pada pola asuhan. Seperti apa kita menerapkan pola asuhan, itulah bentuk karakter perkembangan anak yang akan terjadi.
Pola asuhan yang melekat adalah siapa yang paling dekat dengan seorang anak. Apabila yang paling dekat adalah ibu, maka watak-watak ibu akan berpengaruh. Bila yang dekat adalah ayah maka watak ayahlah yang akan membekas. Demikian pula bla ternyata guru di Taman kanak-kanak yang paling dekat, maka perilaku anak akan mengikuti gurunya. Begitu pula bila yang paling dekat adalah baby siter atau pembantu, maka karakter pembantulah yang akan melekat pada jiwa anak.
Sering orang tua tiba-tiba kaget mengapa si kecil tidak mau lagi menuruti perintahnya, bahkan suka membantah. Sebaliknya ketika diperintah oleh pembantu justeru sangat menurut, lalu menyalahkan pembantu jangan-jangan selama ini diajari agar anaknya tidak mematuhi perintahnya. Ia tidak menyadari bahwa selama ini perhatian yang diberikan kepada si kecil memang sangatlah kurang karena kesibukannya.
Itulah maka kedekatan dengan si kecil harus dibangun sejak dini.
INISISASI DINI ASI
Pola asuhan dimulai sejak anak lahir, malahan ketika anak masih dalam kandungan. Begitu anak lahir tanpa perantara siapapun anak diinisiasi untuk menikmati air susu ibu (ASI). Di dalam ASI lah pertalian ibu dan anak sangat sangat kuat tak ada yang menandingi. Tinjauan medis paling mutakhir menunjukkan, bahwa di dalam ASI bukan hanya termuat gizi yang sangat tinggi, tetapi juga zat-zat inti perekat antara seorang anak dan ibu. Memisahkan anak dengan ASI sama dengan memisahkan anak dengan kehidupan, karena di sanalah ia berasal dan menemukan kehangatan, harapan, lindungan, dan kemutlakan cinta.
Dengan alasan apapun, anak harus diberi hak utama yaitu menikmati air susu ibu. ASI tidak akan tergantikan oleh susu formula macam apapun. Susu formula hanya menyediakan gizi semu, sedangkan ASI mengandung gizi sejati, cinta, harapan, bahkan aneka zat kekebalan tubuh yang melindungi anak dari bebagai penyakit. Menyediakan berbagai fasilitas kepada anak tanpa menyediakan ASI sesungguhnya seperti memberikan tubuh tanpa memberikan jiwanya.
Inisiasi diberikan dalam waktu 30-60 menit setelah kelahiran, tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Bila ini dilakukan selama minimal 6 bulan (ASI eklusif) maka akan terjadi latihan reflek berfikir sekaligus pencegahan terhadap serangan penyakit menular atau infectious disease (Utami Rusli, 2007).
Boleh dikatakan, perlakukan apapun menjadi sia-sia bagi masa depan anak apabila orang tua tidak memberikan ASI eklusif. Potensi anak akan berkembang secara optimal, bila dalam hidupnya menikmati ASI eklusif.
JANGAN MELARANG
Kesalahan paling fatal orang tua adalah kegemarannya melarang banyak hal kepada anak-anak kita. Rupanya kegemaran ini juga menjadi ciri khaas orang deawasa di banyak negara, sehingga UNICEF pada tahun 2000 mencanangkan gerakan ”Say Yes For Children” ( Katakan Ya, untuk anak).
Bayangkan; anak menangis dilarang, anak bangun malam dilarang, anak menggigit kain dilarang, anak berteriak dilarang, anak ikut ke mana orang tua pergi dilarang, anak bermain dengan teman-teman di luar di larang, semua pendidikan bentuknya larangan. Akibatnya anak diam-diam menyimpan tekanan jiwa. Sublimasinya, ia tetap akan melakukan apa yang diinginkan bila tidak ada orang tua, atau menjadi apatis dengan tidak melakukan apapun karena pasti akan dilarang oleh orang tua.
Untuk diingat, menangis adalah satu-satunya ekpresi anak di awal kehidupannya, maka tidak seharusnya ia dilarang untuk menangis. Bermain juga adalah media eksplorasi anak dalam mengenal lingkungannya dan mengekspresikan impuls-impuls dalam dirinya. Bermain yang bagi orang tua sesuatu yang tidak serius dan hanya membuang waktu, bagi seorang anak adalah dunia yang sangat penting karena di sanalah ia mencari eksistensi diri. Bagi anak, waktu 24 jam masih kurang untuk bermain.
Yang diperlukan orang tua adalah memastikan bahwa tempat di mana anak bermain adalah tempat yang bersih dan aman. Selebihnya biarkan anak mengekplorasi diri karena disinilah anak berlatih seluruh potensi unik yang dimiliki.
PERAN ORANG TUA DAN GURU
Dengan perspektif seperti itu, di manakah peran orang tua dan guru Taman Bermain/Taman kanak-kanak/PAUD? Pertama, orang tua sebagai fasilitator yaitu menyediakan lingkungan dan sarana belajar anak untuk mengembangkan potensinya. Ank punya minat musik akan berkembang apabila mendapat dukungan fasilitas yang berhubungan dengan musik seperti alat musik, buku-buku tantang musik, kesempatan menonton musik, bergaul dengan para pemusik dan sebagainya. Demikian juga untuk minat-minat yang lain. Asumsinya, semakin dipenuhinya fasilitas yang dibutuhkan anak, akan semakin berkembang potensi-potensi yang dimiliki seorang anak.
Kedua, orang tua sebagai motivator. Peran ini dilakukan dengan memberikan dorongan dan dukungan bagi berbagai hal yang menjadi minat seorang anak. Apabila anak melakukan kekeliruan tidak disalahkan atau disudutkan tetapi diberi berikan bimbingan dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat. Ketika anak memasukkan bola ke gawang, tidak dvonis anak itu bodoh dan tak mampu menjadi pemain bola. Sebaliknya orang tua akan berkata;”Wah hebat, tendanganmu sudah keras, tetapi akan lebih baik kalau juga tepat sasaran. Cobalah tenang sedikit sehingga bola yang kamu tentang akan masuk e gawang’’.
Ketiga, orang tua sebagai inisiator, yaitu contoh atau teladan bagi anak-anak. Contoh atau teladan akan lebih mudah tertanam di dalam benak anak, dan pada gilirannya akan menjadi habitus yang akan berlanjut hinga dewasa kelak. Janganlah kita merokok bila kita ingin anak merokok, janganlah suka marah-marah bila tidak ingin anak kita menjadi pemberang, janganlah suka bicara kotor bila kita inginkan anak-anak berlaku sopan santun.
Keempat, mendengarkan suara anak. Ini sangat penting karena apa yang diinginkan anak dengan yang kita pikirkan tentang anak sangat berbeda. Orang tua sering menganggap bahwa dengan memberikan pakaian bagus dan makanan enak ia sudah memenuhi keinginan anak. Tetapi jangan kaget karena ketika kita minta agar anak kita menuliskan secara bebas tentang apa yang diinginkan, keinginan anak berbeda dengan keinginan orang tua sperti; ”Saya ingin Ibu sering membelai rambut saya”, ”Saya ingin ayah tidak suka berteriak-teriak memarahi pembantu”, ”Saya ingin ayah dan ibu pernah nonton teve bareng”, dan sebagainya, keinginan-keinginan yang kelihatannya sangat ringan, tetapi sangat penting bagi pemenuhan hak-hak anak.
PERAN TAMAN BERMAIN
Bermain adalah hak anak yang harus dipenuhi. Bermain bagi seorang anak adalah saat di mana ia bisa mengekspresikan semua potensi yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, anak yang semasa kecil ha-hak bermainnya tidak dipenuhi karena berbagai lasan, berarti ia telah kehilangan masa anak-anaknya.
Di dalam bermain seorang anak akan beajar berkomunikasi dengan orang lain (atau bayangan orang lain), menjelajah lingkungan hidup, belajar bersosialisasi, belajar kedisiplinan, kejujuran, kerjasama, saling membantu bagi yang membutuhkan, serta belajar kasih sayang dengan orang lain. Tiada kegiatan paling penting bagi seorang anak kecuali bermain. Melarang bermain berarti melarang menjadi anak.
Peran Taman bermain (TK/Kindegarden/PAUD) dan sebagainya dengan demikian menjadi amat penting posisinya, yaitu menjembatasi anak dalam masa transisi dari masa anak-anak ke dalam masa bersekolah. Tugas guru adalah menyediakan ruang ekspresi bagi anak. Oleh karena itu Taman Kanakkanak akan lebih memiliki arti bagi perkembangan anak apabila banyak memiliki fasilitas bermain. Mengajarkan kejujuran dan kedisiplinan tidak mungkin hanya dengan ceramah, dipastikan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bermain peran, adalah metode yang jauh lebih cocok untuk target tersebut.
Demikian juga mengajarkan membaca-menulis dan berhitung kepada anak-anak TK tidak akan menghasilkan apapun kecuali kebanggaan semu dari orang tua. TK bukan bukan sekolah dengan administrasi ketat. TK adalah taman bermain yang harus dikondisikan seperti di rumah dengan memberikan stimulus agar anak mulai belajar mandi sendiri, makan sendiri, mencuci tangan, berimajinasi dan sebagainya.
Sayangnya banyak orang tua keblinger, dikiranya apabila sejak TK sudah bisa membaca dan menulis maka akan menjamin di masa sekolah ia akan lebih pandai dbandingkan teman-temannya. Guru-guru TK pun kemudian dengan bangga memamerkan kepada teman-teman guru dari TK lainnya, bahwa di TK nya anak-anak sudah diajari membaca menulis dan berhitung bahkan bahasa Inggris. Ia tidak tahu, itu semua salah dan tak akan menolong anak-anak di masa depan dari kehidupan pelik yangdihadapi orang deawasa. Lebih ngawur lagi, ada SD yang dalam penerimaan siswa baru mensyaratakan pendidikan Taman kanak-kanak.

PRAKTEK KEKERASAN DI SEKOLAH

Satu prinsip yang harus dipedomani adalah tidak boleh ada praktek kekerasan pada anak-anak, baik di rumah, taman bermain maupun sekolah. Anak-anak yang mengalami kekerasan akan trauma, dan secara langsung akan berpengaruh pada berkembangnya daya-daya intelektual anak.

Sayangnya dalam praktek keseharian kita masih suka melakukan tindak kekerasan apabila merasa galal menyampaikan pesan kepada seorang anak atau merasa disepelekan anak, atau karena alasan lainnya. Disebabkan ketidakberdayaan fisik maupun psikis ketika menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, akhirnya banyak jatuh korban tindak kekerasan pada anak.

Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan. Di masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik semata, tetapi sekarang sudah lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir tersebut memang lebih sulit mengukurnya karena tidak nampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.

Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan dari analisa 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007 saja mencapai 455 kasus kwa seekerasan terhadap anak yang diberitakan. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 terdapat 600 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus Kejaksaan Agung. Sebanyak 41 % di antaranya terkait dengan kasus pencabulan dan pelecehan seksual. Adapun 41 % lainnya berkenaan dengan perkosaan. Sisanya, 7 % tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 % tindak penganiayaan, 5 % tidak diketahui. (Laporan Pemerintah Indonesia kepada Komite Anak Dunia, 2008.
Sementara itu Komnas Perlindungan Anak , melaporkan bahwa selama tahun 2007 praktek KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya 40.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008.(Media Indonesia, 12 Juli 2008).

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan aneka variannya diterima oleh anak-anak Indonesia seperti; pembunuhan, perkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafiking, , aborsi, pedofilia, dan berbagai eksploitasi anak dalam bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, melarikan anak, penyanderaan dan sebaginya.
Ada data menarik di KPAI, bahwa dari seluruh tindakan KTA terhadap 11, 3 persen dilakukan oleh guru, atau nomer dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar anak yang mencapai 18 %. Mula-mula penulis tidak percaya terhadap fenomena tersebut. Namun setelah dilakukan analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar penulis semakin terhenyak kaget, karena sepanjang paruh pertama tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam yakni mencapai 39,6 persen dari dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.

Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam terhadap anak yang dilakukan guru selama menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Apabila kekerasan psikis tersebut dimasukkan, persentase akan semakin tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orang tua wali murid kepada KPAI.
Ini kondisi yang memprihatinkan karena sebagaimana teori psikoanalisa mengatakan, anak akan melakukan apa yang pernah diterima dari orang tua. Aetinya, bila anak-anak sekarang diperlakukan keras, maka ia kelak akan memperlakukan orang lain dengan kekerasan pula. Dengan begitu kekerasan laksana spiral yang akan selalu melahirkan kekerasan baru dengan eskalasi yang terus meningkat
PENUTUP

Undang-undang Nomer 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpatisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

Pada bagian lain dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9).

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi, dan rekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.(Pasal 11).

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, serta memperhatikan kondisi anak pada masa golden age, maka sungguh kita tidak boleh salah dalam menerapkan pola asuhan terhadap anak pada usia lima tahun pertama. Kesalahan pada masa ini, bisa jadi akan menjadi kesalahan selamanya yang akan sulit diperbaiki.***
Purwokerto, 31 Agustus 2008
(Naskah untuk bahan Seminar Mengelola Golden Age Pada Anak, yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Taman kanak-kanak Kabupaten Banyumas dan penerbit Aksaraindo, Purwokerto, tanggal 31 Agustus 2008).




0 comments:

Post a Comment

 

Universitasku Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates